Jumat, 17 April 2009

JELAJAH dan Urang Badui ...

BELAJAR DARI BADUY Fokus dari isi materi ini adalah cara pandang atau upaya untuk melihat sebuah komunitas yang mungkin mempunyai kebiasaan yang berbeda engan kebiasaan yang kita lakukan. Sebuah komunitas atau kelompok masyarakat yang sering di sebut dengan mayarakat tradisional yang adat istiadatnya belum tersentuh oleh zaman globalisasi. Namun apabila di bandingkan dengan kemoderenan saat ini, ternyata ketradisionalan masih masih memiliki nilai yang lebih baik. Sekarang ini apa yang kita anggap modern merupakan suatu hal yang baik, ternyata banyak mengubah tatanan nilai sosial budaya dan kehidupan yang merupakan cerminan dari suatu komunitas. Masyarakat badui hidup dalam suatu kebudayaan tak tersentuh oleh pergeseran nilai, hal ini nampak dalam pola kehidupan masyarakat badui. Badui merupakan salah satu contoh masyarakat yang masih bersahaja dan sederhana yang menyimpan begitu banyak teladan budaya leluhur bangsa Indonesia . TINJAUAN SEJARAH. A. Asal usul nama baduy Sebutan “ orang baduy “ atau “ urang baduy “ yang di gunakan untuk menyebut penduduk desa knekes di lereng pegunungan kendeng bukan berasal dari mereka sendiri bebrap istilah untuk menyebut nama badui, yaitu badui,badoei,kenekes,rawayan. Yang untuk setiap sebutan istilah tersebut mempunyai arti tertentu yang berberhubungan dengan asal usul dan kebiasaan mereka. Dan istilah sebutan tersebut tersirat pula akan pandangan akan dari kelompok masyarakat yang sering terkait dengan citra “ masyarakat aneh “ tersebut. Penduduk wilayah banten selatan yang beragama islam biasa menyebut Baduy kepada orang kanekes yang suka berpindah – pindah seperti halnya orang Badawi Saudi Arabia yang mempunyai pola kehiduan yang berpindah – pindah. Sementara itu, Orang belanda menyebut mereka, “ Badoe’i, Badoej, Badoewi, Orang kanekes “ dan “ Rawayan “ Tampaknya sebutan Baduy tidak hanya digunakan menurut sebutan orang Banten Selatan saja, namun diambil nama sungai Cibaduy yang merupakan batas desa itu disebelah utara dan nama gunung Baduy. Sekitar tahun 1980, yaitu setelah KTP ( Kartu Tanda Penduduk ) diberlakukan bagi penduduk desa tersebut, maka hampir semua penduduk desa Kanekes tidak menolak sebutan orang Baduy. Sebutan diri yang biasa mereka gunakan adalah Orang Kanekes, Orang Rawayan, atau menyebut langsung asal dan wilayah kampung, Seperti “ Urang Cibeo “ ( nama kampung ), “ Urang Tangtu “ ( Baduy Dalam ),dan “ Urang Panamping “ ( Baduy Luar ). Sebutan diri lain dalam memberi takanan akan kehadiran mereka sebagai orang Sunda Wiwilan ( Sunda Awal ). Tetapi sekarang ini kurang digunakan. Nama itu masih digunakan untuk menyebut nama agama mereka, sedangkan sampai saat ini mereka biasa menyebut diri sebagai Urang Baduy ( Orang Baduy ). B. Lokasi dan Demografi Masyarakat Kanekes mendiami wilayah bagian barat pulau jawa, di daerah yang merupakan bagian dari rangkaian pegunungan kendeng dengan ketinggian 900 mdpl. Secara Geografis, desa kanekes terletak pada 6 27’27 – 6 30’ Lintang Utara ( LU ) dan 108 – 3’9” – 106 – 4’55” Bujur Timur. Secara keseluruhan pemukiman orang Baduy disebut Desa Kanekes yang termasuk dalam kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Kecamatan Leuwidamar terdidi dari 8 desa. Desa Kanekes terletak dibagian selatan daerah kecamatan itu, pada aliran sungai Ciujung, bagian utara pegunungan kendeng, wilayah Banten selatan . Sungai Ciujung mempunyai anak – anak sungai Cisimeut, Cibarani, Cibeuneung, dan Ciparahiang. Sungai – sungai itu mengalir kearah utara banten yang penduduknya bersawah. Dihutan sepanjang sungai Ciujung dan Ciparahiang, atau sebelah utara kampung Tangtu Ciketawarna, terdapat tempat suci orang Baduy yang bernama Sasaka Pusaka Buana. Secara administratif, wilayah kanekes meliputi luas sekitar 5.136,85 hektar, yang termasuk kedalam Desa Kanekes. Luas wilayah yang sekarang lebih sempit dari masa – masa sebelumnya, Bahwa pada akhir abad ke – 18 wilayah Kanekes terbentang mulai dari kecamatan Leuwidamar sekarang sampai pantai selatan. Batas desa yang jelas sekarang diperkirakan dibuat dan ditetapkan pada permulaan abad ke – 20 bersamaan dengan pembukaan perkebunan karet di Desa Leuwidamar dan sekitarnya. Berdasarkan penentuan batas oleh sultan Banten, maka batas tersebut diatur kembali oleh pemerintah Hindia Belanda yang dilaksanakan oleh Patih Derusa Sedangkan Judistira Gama memperkirakan bahwa luas wilayah Kanekes meliputi beberapa wilayah kecamatan yang ada sekarang di wilayah Banten selatan seperti Muncang, Sajira, Cimarga, Maja, Bojongmanikm dan Leuwidamar, Wilayah Kanekes semakin dipersempit pada masa kerajaan banten dalam rangka penyebaran Agama Islam. Wilayah Kanekes merupakan desa terluas di kecamatan Leuwidamar. Wilayah Kanekes terdiri atas hutan, ladang, semak belukar dan perkampungan. Desa – desa luar yang membatasi wilayah Kanekes terdidi dari desa Cibungur dan Desa Cisimeut ( Kecamatan Leuwidamar ) di sebelah utara, disebelah timur berbatasan dengan Desa Sobang ( Kecamatan Cipanas ), disebelah selatan berbatasan dengan Desa Cigembong ( Kecamatan Bayah ), dan disebelah barat berbatasan dengan Desa Karangnunggal ( Kecamatan Bojong Manik ). Desa Kanekes terleak sekitar 15 km sebelah selatan kota kecamatan Luewidamar, sekitar 38 km sebelah selatan kota kabupaten Rangkas Bitung, sekitar 120 km sebelah barat ibukota Jakarta . Dahulu sebelum sarana dan prasarana transportasi tersedia, untuk mencapai lokasi Desa Kanekes harus menempuh perjalanan jalan kaki lewa jalan setapak sejauh 10 km dari Leuwidamar lewat perkebunn karet Cikopo. Sekarang setelah sarana jalan raya dan transportasi penghubung antara Ciboleger dan Kota Rangkasbitung tersedia, maka untuk menuju Desa Kanekes dari Kota Rangkasbitung dapat ditempuh melalui angkutan hingga menuju terminal Desa Kanekes dan dapat ditempuh kurang lebih 45 menit dari Kota Kabupaten Rangkasbitung. Wilayah pemukiman masyarakat Kanekes merupakan daerah yang berbukit – bukit yang semakin kearah pedalaman selatan maka semakin curam dan menanjak menyusuri jalan setapak sepanjang lereng pegunungan, Tempat yang paling rendah daerah ini berada pada ketinggian sekitar 200 mdpl. Sedangkan ketinggian tertinggi yang merupakan puncak dari rangkaian pegunungan Kendeng terletak pada ketinggian 1.200 mdpl, Pegunungan Kendeng ini selain sebagai tempat berdiam diri masyarakat Kanekes, juga merupakan sumber air yang utama dan penting bagi daerah aliran sungai Ciujung di sebelah hilir Banten Utara yang melewati kota Kabupaten Rangkasbitung. Masyarakat Kanekes berkumpul dan bertempat tinggal dalam satu kesatuan pemukiman yang disebut babakan atau kampung. Sebagai sebuah desa, Kanekes terdiri atas beberapa kampung yang terbagi menjadi dua kelompok, pengelompokan tersebut berdasarkan tingkatan adatnya yang diklasifikasikan atas dua kelompok sosial, yaitu kampung tangtu dan kampung panamping. Kampung dan masyarakat tangtu bertempat di tiga kampung utam , yaitu kampung Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Sedangkan kampung dan masyarakat panamping bertempat di kampung – kampung lainnya dalam lingkungan Desa Kanekes. TINJAUAN ANTROPOLOGI Baduy merupakan suatu suku bangsa yang bermukim di sejumlah kampung yang tergabung dalam Desa Kanekes. Wilayah dan masyarakat Baduy terbagi atas dua bagian, yaitu: 1. Baduy Dalam ( Urang Tangtu Tilu atau Baduy Kajeron ) 2. Baduy Luar ( Urang Kaluaran atau Baduy Panamping ) Baduy Dalam hanya terdiri dari 3 kampung ( Tangtu Tilu ) yaitu kampung Cikeusik, Ciketawarna, dan Cibeo. Orang Baduy Dalam ini kadang – kadang disebut Urang Girang artinya “ orang hulu “ atau Urang Rawayan karena berdiam di sungai Cirawayan. Baduy Luar tersebar pada 51 kampung, antara lain : Kaduketuk, Kadujangkung, Cihulu, Karahkal, Kaduketer, Cikadu, Leuwibuled, Gajeboh, Cipaler, Cikopeng, Cibongkok, Cibogo, Cicatang, Cisagu, Cicakal Girang, Batu Beulah, Bojongpaok, Cangkudu, Cijamantri, Cisadane, Pamoen, Batara, Cisaban, Kadokohok, Sarkokod, dan Nagreg. Bahasa Pada dasarnya orang Baduy bertutur dalam bahasa sunda, yang termasuk dalam kategori Sunda – Banten, sub dialek Baduy. Berbeda dengan bahasa subdialek Baduy, bahasa Baduy tidak dipengaruhi oleh bahasa jawa dan bahasa Baduy tidak mengenal tingkatan tutur bahasa dan memiliki aksen tinggi dalam lagu kalimat. Orang Baduy tidak mngenal tlisan kecuali abjad Hanacaraka ( alfabetis jawa / sunda kuno ) yang digunakan untuk menghitung hari baik. Oleh karena itu, adat istiadat, Agama, cerita nenek moyang, dan sebagainya tersimpan dalam tutur, sehingga subdialek Baduy dianggap sebagai bahasa tersendiri. Demografi Orang Baduy yang menjadi penduduk Kanekes pada tahun 1971 berjumlah 4.066 jiwa, tahun 1976 : 4.057 jiwa dan tahun 1984 berjumlah 4.582 jiwa. Sementara itu perbandingan antara jumlah kematian dengan jumlah kelahiran pada tahun 1984 adalah 152 berbanding 70. yang mana penyebab kematian itu selain karena faktor usia lanjut, juga karena penyakit malaria, penyakit perut, sesak nafas, kurang gizi, dll. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk Baduy relatif kecil yaitu sekitar 1% pertahun. Berdasarkan data statistik terakhir pada tahun 2003, masyarakat Tangtu berjumlah 625 orang dan masyarakat Panamping berjumlah 6.650 orang pada tahun 2003. jumlah pria 3.758, wanita 3.517 dengan keseluruhan jumlah penduduk Desa Kanekes 7.275 dengan 1.831 kepala keluarga. Jumlah keseluruhan inipun masih dibawah jumlah keseluruhan penduduk Desa Kanekes. Karena kebiasaan masyarakat Kanekes yang bertempat tinggal diladang – ladang mereka ditengah hutan, kemungkinan besar banyak penduduk yang tidak terdata oleh petugas sensus penduduk ketika pengecekan ini dilakukan. Pola dan Struktur Perkampungan Jika dilihat dari pedoman arah dari daerah yang dianggap sakral oleh masyarakat Kanekes, Arca Domas. Letak kampung – kampung yang tersebar diseluruh wilayah Kanekes itu tersebar mulai dari sebelah utara ke selatan, demikian pula halnya rumah – rumah yang terletak di kampung – kampung menghadap utara – selatan. Atap rumah tampak memanjang pula arah utara – selatan, sesuai dengan rumah – rumah yang menjadi pusat inti Kanekes yaitu di kampung Tangtu yang atpnya memanjang utara – selatan. Pada umumnya kampung – kampung yang tersebar diseluruh wilayah Kanekes terletak didekat mata air, mungkin itu dapat berupa sungai atau mata air lainnya, sehingga memudahkan masyarakatnya untuk mengambil air bagi keperluan minim dan mandi. Selain daripada itu kampung – kampung tersebut terletak dikaki bukit atau lembah, pada bagian tanahnya yang rata walaupun demikian tampak pula beberapa kampung yang terletak pada bukit yang berundak – undak seperti yang terlihat pada kampung Cicakal Muara, salah satu kampung yang termasuk dalam wilayah Panamping. Untuk memperoleh gambaran mengenaipola kampung dan susunan rumahnya dapat dikemukakan 2 pola kampung yaitu di Kaduketug dan Cibeo, sehingga akan tergambarkan pula pola kampung Tangtu dan Panamping. Di kampung Kaduketug pusat berkumpul dan menginap tamu pada awalnya adalah rumah jaro atau kepala desa, yang merupakan rumah terbesar di kampung tersebut. Dengan demikian rumah itu menggantikan Bale atau rumah untuk pertemuan yang tidak terdapat di kampung Kaduketug. Bangunan untuk menumbuk padi dipergunakan untuk semua penduduk dikampung tersebut dan tempat berkumpul. Ronda adalah rumah biasa yang dipergunakan waktu siang dan malam para pria yang melakukan ronda berkumpul. Tempat mandi yang sering dipergunakan yaitu disebelah selatan kampung yang letaknya agak tersembunyi dan tertutupi oleh semak dan pepohonan, terdapat aliran sungai kecil didekat tempat mandi tersebut. Air dialirkan dari mata air dengan bambu, air tersebut digunakan baik untuk mandi, mencuci, maupun untuk air minum dan keperluan rumah tangga lainnya. Untuk air minum dipergunakan kele yaitu bamboo 1 -2 ruas yang diberi lubang dibagian atasnya. Kedua alat penyimpan air tersebut secara luas dipergunakan oleh masyarakat Kanekes, walaupun pada perkembangannya sekarang sudah ditemui masyarakat Kanekes yang mulai mempergunakan ember, jerigen plastik sebagai tempat penampungan air, terutama hal tersebut dilakukan oleh masyarakat Panamping yang lebih longgar dalam hal pemakaian peralatan untuk keperluan hidup mereka. Bentuk dan organisasi rumah pada masyarakat Kanekes pada umumnya hamper sama, dan beberapa rumah yang besar dan organisasinya yang agak lain seperti kamar lebih dari satu, rungan depan agak lebih luas adalah rumah jaro atau kepala desa. Leuit atau lumbung padi terletak berkelompok terutama dipinggir kampung sebelah selatan dan utara, juga tempat menumbuk padi disebelah selatan kampung tersebut. Dikampung Kaduketug terdapat 132 rumah. Demikian pula jumlah Leuit kira – kira sebanyak jumlah rumah, dan pemilikan Leuit selain pribadi juga terdapat Leuit kampung. Letak rumah pada umumnya lebih teratur, terletak secara berbaris dengan pintu menghadap kearah selatan seperti rumah puun, kecuali Bale yang pintunya menghadap keselatan rumah Puun. Untuk ukuran rumah yang ada dikampung Cibeo adalah sama, artinya tidak ada perbedaan antara rumah pemimpin ( Puun ) dengan warga kampung lainnya, dan hanya rumah Puun – lah yang terletak secara khusus. Rumah dan pekarangannya merupakan daerah yang paling sakral dikampung tersebut. Oleh karena itu setiap orang asing dari luar kampung Cibeo terlarang untuk mendekati rumah dan pekarangan itu, setiap tamu secara resmi diterima di Bale atau rumah Jaro. Untuk rumah Puun, memiliki fungsi sebagai rumah resmi seseorang yang memiliki wewenang sebagai Puun. Artinya rumah itu akan digunakan oleh setiap orang yang menjadi Puun. Jika Puun berhenti, ia akan kembali ke rumah asalnya bercampur di antara penduduk desa. Demikian pula halnya jika seorang puun meninggal, keluarganya akan kembali ke rumah milik pribadinya.dalam lingkungan kampung, terdapat bangunan lainya yaitu leuit ( lumbung padi ) dan saung lisung. ( tempat menumbuk padi ) leuit itu terletak pada pinggiran kampung, dan terlihat mengumpul pada kelompok dari rumah para pemiliknya. Paling sedikit sebuah Saung Lisung terdapat dalam setiap kampung yang digunakan oleh seluruh penduduk. Karena itu saung lisung merupakan tempat para wanita penduduk kampung melakukan komunikasi obrolan terbuka. Letak rumah dalam setiap kampung berbanjar, ditengah kampung biasanya terpotong oleh jalan desa, berupa jalan setapak tanah menuju luar kampung atau kekampung lain dan huma. Antara rumah satu dengan rumah lainnya tidak diberi pagar, karena memagari rumah seolah – olah mengaku bahwa rumah itu sebagai milik pribadi. Dalam pandangan masyarakat Kanekes, bahwa rumah memang milik perorangan, tetapi tanah adalah milik semua orang. Selama rumah itu dikehendaki oleh pemiliknya terletak di tanah itu, maka pemilik rumah sementara menjadi pemilik tanah tersebut. Walaupun tidak ada pagar antara rumah, terutama di Panamping terdapat batang buluh, sabut kelapa atau batu – batu yang disejajarkan sebatas tanah, disebut kayu wayang. Batas tanah di Panamping itu diratakan atau dirapikan. Berbentuk persegi panjang sebagai batas tanah yang digunakan untuk bangunan rumah disesuaikan kepada bentuk dan luasnya penggunaan tanah untuk bangunan rumah. Sedangkan batas tanah di kampung Tangtu tidak boleh diratakan atau dirapikan, karena tanah Tangtu merupakan tanah sakral maka dibiarkan menurut bentuk asalnya. Konstruksi tiang – tiang rangkaian penyangga rumah harus mengikuti bentuk tanahnya. Tiang –tiang rumah diberi dasr batu berbentuk persegi atau bundar, demikian halnya tiang – tiang untuk bale, saung lisung dan leuit. Bentuk dan denah kampung Tangtu seperti Cibeo, lueit terletak di sebelah utara berkelompok di belakang Bale, satu kelompok lagi di sebelah barat, terletak di pintu masuk kampung. Jumlah rumah di Kampung Cibeo ada 80 rumah. Tempat untuk menumbuk padi ada satu yang dipergunakan untuk seluruh warga kampung tersebut. Seperti halnya dengan kampung – kampung yang ada di Desa Kanekes, kuburan terletak di pinggir kampung yang hanya ditandai oleh pohon Hangjuang Beureum. Tata perkampungan kampung Panamping pada hakikatnya sama dengan di perkampungan Tangtu, perbedaannya di kampung Panamping tidak ada bale dan rumah Puun. Ruma Kokolot ( tetua adat di kapung ) emang terletak agak terpencil. Saung Lisung dan Leuit letaknya serupa, yaitu pada tepi kampung. Pinggiran kampung yang paling ujung disebut jarian. Tidak adanya bale memperlihatkan bahwa para tamu yang datang dari luar misalnya boleh diterima secara bersendirian di rumah penduduk, walaupun dia seorang Jaro, Panggiwa ( wakil Jaro ), Kokolot Lembur ( ketua kampung ), ataupun penduduk biasa. Dalam pembuatan rumah di Kampung Tangtu, sabungan tiang dan rangka lainnya tidak memakai paku. Untuk keperluan memperkokoh banguna digunakan Paseuk ( paku dari bambu atau kayu ), rangka atap dengan ikatam tali hoe atau tali awi ( hoe: rotan, awi: buluh atau bambu ). Kayu laban untuk bahan rangka dan tiang rumah. Dinding, lantai dan langit – langit dibuat dari bahan bambu, dinding berupa anyaman bambu tipis ( bilik ), lantai dari batang bambu yang diratakan dengan dipkul – pukul ( palupuh ). Atap terdiri dari kiray yang disusun bertumpuk dan memanjang diikat dengan tali dari kulit pohon bambu. Di Kampung Panamping diperkenankan menggunakan paku, kawat atau besi yang dibeli dari kota untuk keperluan pembuatan bangunan. Adapun bahan rumah di Panamping serupa dengan di Tangtu, demikian pula atapnya. Perbedaan akan tampak dalam bentuk dan organisasi rumah, dengan terdapat kecenderungan yang kuat bahwa di Panamping lebih besar dan beragam. Pintu terbuat dari papan kayu yang licin dan sudah diserut, daun pintu menempel pada tiang pintu dengan menggunakan engsel. Di kampung Tangtu, pintu terbuat dari anyaman bilah bambu, engselnya menggunakan tali. Baik di Panamping maupun Tangtu rumah tidak memakai jendela yang bisa dibuka dan di tutup. Jendela dalam setiap rumah di Kanekes disebut Lolongok ( longok, melongok: melihat ) berarti melihat – lihat atau memandang, menunjukan bahwa fungsi untuk melihat bagian luar rumah. Bale, saung lisung dan leuit terdiri dari bentukan 2 dapat berbentuk bangunan yang terlihat luas, karena mudah dirombak dan diperbesar. Luasnya ruang seperti bale berfungsi untuk menerima tamu lebih banyak. Saung lisung terisi sebuah lisung ( lesung ) yang besar dan panjang sehingga sekaligus 5 – 10 wanita dapat menumbuk padi. Adapun ukuran lueit bisa bervariasi dari segi ukuran, karena ada kecenderungan bahwa semakin besar ukuran leuit sehingga dapat menyimpan padi yang lebih banyak pula. Padi akan ditumbuk mengikuti kebutuhan untuk beberapa hari, sebab akan diupayakan supaya simpanan padi selalu ada di leuit. Jumlah leuit dan besarnya bangunan rumah menjadi indikator perbedaan kepemilikan harta di Kanekes, terutama hal tersebut terjadi di Panamping, selain rumah yang besar, jumlah leuit juga menunjukkan kepemilikan seseorang yang dianggap ” beughar ” ( kaya ). Salah satu indikasinya yaitu hasil padi dari huma jauh dari kebutuhannya sehinggadapat menyimpan di Leuit. Karena itu hasil kebon ( kebun ) yang dijual, seperti kadu ( durian ), petai dan jenis buah – buahan serta hasil kebun lainnya boleh menambah hasil. Uang hasilpenjualan tersebut dapat dipakai membeli parabah ( pakaian dan alat rumah tangga ) atau untuk memperbaiki rumah. A. Komunikasi Sejak dahulu masyarakat Baduy sudah berhubungan dan bergaul dengan anggota masyarakat luar, baik di dalam maupun di luar desa Kanekes. Komunikasi itu terutama diadakan untuk memenuhu kebutuhan sehari – hari, seperti : garam, ikan asin, tembakau, rokok, obat – obatan, pakaian, piring, gelas, dsb. Orang Baduy luar sekarang sudah mulai terbiasa menggunakan radio, makanan dalam kaleng, atau pakaian yang biasa dipakai orang lain diluar masyarakat Baduy. Bahkan orang Baduy dalam sendiri pun telah mulai menggunakan obat – obatan yang dibuat berdasrkan ilmu kedokteran modern, misalnya obat bermerk APC, Bodrex, Afitson, Rheumason, dll. B. Kelompok Sosial dan Sistem Kekerabatan Keseluruhan desa Kanekes terbagi dalam 2 wilayah, yakni Tangtu dan Panamping. Yang memiliki fungsi dan kewajiban adat yang secara khusus mengikat, masing – masing memiliki perbedaan yang cukup nyata diantara keduanya. Tetapi perbedaan status, fungsi dan kewajiban orang Tangtu dan Panamping tidak menjadikan hubungan kekerabatan orang Kanekes dipengaruhi oleh status kewargaan. Dalam sejarah masyarakat Kanekes, pembagian dua status kewargaan tangtu dan panamping, tidak terlepas dari peran dan fungsi keagamaan dimana Kanekes sebagai pusat suci keagamaan Sunda awal. Masyarakat Kanekes mengelompok menurut asal keturunan yang terbentuk melalui proses yang terjadi selama ratusan tahun. Masyarakat Kanekes menurut kepada kelompok kekerabatan, terbagi menjadi dua kelompok besar tangtu sebanyak 3 kampung dan 51 kampung panamping. Pembagian status antara tangtu dan panamping, menentukan posisi masing – masing dalam rangka kesatuan kebudayaan masyarakat Kanekes sebagai masyarakat adat. Peranan untuk pelaksanaan dan pengawasan pelaksanaan adat dilaksanakan oleh tangtu tilu ( tiga tangtu ) atau tiga puun yang bermukim di tangtu Cikeusik, tangtu Cikertawana, tangtu Cibeo yang membentuk sistem pengawasan dan pelaksanaan adat melalui kelembagaan adat Tangtu Tilu Jaro Tujuh. Pelaksanaan dan pengawasan adat ini sepenuhnya dilaksanakan dan diawasi oleh lembaga kepuunan sebagai pusat hirarkis tertingginya, terasuk permasalahan pelanggaran adat. Penduduk wilayah panamping ada yang secara turun temurun menetap disitu, ada pula penduduk yang merupakan pindahan dari wilayah tangtu ke wilayah panamping. Sebab perpindahan ini bisa disebabkan oleh dua hal. Pertama, orang tangtu yang pindah atas kehendak sendiri karena sudah tidak kuat dan sanggup lagi hidup berdasarkan aturan ketat yang ada dalam lingkungan masyarakat tangtu. Kedua, kepindahan ini karena dibuang dari wilayah tangtu disebabkan telah terjadi pelanggaran adat. Satu contoh seorang warga tangtu Cibeo bernama Narja. Dilahirkan dan besar di kampung tangtu bersama kedua orang tuanya, pada akhirnya kemudian orang tuanya memutuskan untuk pindah ke panamping kampung Kadu Ketug, karena sudah tidak sanggup lagi mengikuti aturan yang ketat karena usia yang sudah tua. Sedangkan Narja sendiri masih tetap untuk tinggal di tangtu Cibeo. Itu satu contoh perpindahan yang terjadi karena keinginan sendiri. Adapula perpindahan status kewargaan yang disebabkan oleh pelanggaran terhadap adat. Mekanisme pengawasan dan penindakan pelanggaran ini berupa peringatan hingga ketindakan yang lebih keras yakni diusir dari wilayah tangtu, dan secara adat tidak terikat lagi. Hukuman yang diberikan oleh lembaga adat terhadap kasus pelangaran yang sifatnya sementara, berupa kerja selama 40 hari tanpa diberi upah. Sesudah 40 hari, si pelanggar akan diambil kembali setelah menyatakan penyesalan dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahan. Wilayah pembuangan untuk masa penghukuman ini adalah di kampung – kampung panamping. Perpindahan yang terjadi karena sebab mengundurkan diri secara baik – baik, maupun dibuang karena terjadi pelanggaran harus melalui upacara yang dinamakan Penyapuan ( pembersihan ). Pada dasarnya kekerabatan pada masyarakat Kanekes tidak dipengaruhi oleh status kewargaan. Baik orang tangtu dengan orang panamping, tetap mempunyai hubungan darah tetap menjadi kerabat. Kerabat tangtu yang ada di panamping dahulu juga merupakan warga tangtu yang drngan kesadaran sendiri memisahkan diri membentuk kelompok sendiri. Kekerabatan yang terbentuk pada masyarakat Kanekes, didasarkan atas sistem parental ( orang tua ). Sistem kekerabatan ini menempatkan keturunan dari garis ayah dan garis ibu pada kedudukan yang sama. Sehingga bisa dikatakan sistem kekerabatan pada masyarakat Kanekes, ayah dan ibu mempunyai hak dan kewajiban yang sama terhadap anak mereka. Kekerabatan yang lebih luas pada masyarakat Kanekes terjadi karena adanya hubungan darah dari orang tua dan keturunan yang sama, juga terjadi karena adanya perkawinan. Hubungan darah terjadi secara langsung turunannya kebawah seperti kakek atau nenek, bapak atau ibu, anak, cucu atau juga terjadi secara sejajar seperti kakak, adik, keponakan, paman, bibi. Sedangkan kekerabatan karena hubungan perkawinan bukan hanya ikatan yang terjadi pada dua individu laki – laki dan perempuan ( suami dan istri ), tetapi melibatkan anggota – anggota keluarga kedu belah pihak, seperti istilah mitoha ( mertua ), warang ( besan ), dahuan ( kakak suami atau istri ), adi beuteung ( adik suami atau istri ). Untuk istilah – istilah sistem kekerabatan, masyarakat Kanekes memiliki istilah – istilah kekerabatan dan penamaan yang berbeda dengan istilah kekerabatan dengan masyarakat sunda lainnya. Ego dalam istilah masyarakat Kanekes menyebutnya dengan istilah asing, ego memanggil kakak laki – laki dengan aka, kakak perempuan dengan eteh atau teteh, dan untuk adik laki – laki dengan adi. Kakak laki – laki perempuan orang tua dipanggil ua atau ua bikang, sedangkan adik laki – laki orang tua dipanggil mamang dan yang perempuan dipanggil embi atau bibi. Ego ( laki – laki ) menyebut istrinya dengan pamajikan dan ego ( perempuan ) menyebut suaminya dengan salaki. Ego menyebut mertua dengan mitoha lalaki ( pria ) atau mitoha awewe ( wanita ), sementara mertua memanggil ego dengan minantu. Ego memanggil adik ( pria atau wanita ) dan suami atau istri dengan adi beuteung dan ego memanggil kakak ( pria atau wanita ) dari suami atau istri dengan dauhan. C. Sistem Religi Masyarakat Kanekes Dalam tradisi penulisan ilmu – ilmu sosial di indonesia, seringkali dibedakan istilah antara agama dan religi, agama digunakan untuk menyebut agama besar seperti islam, kristen, hindu, budha, dan religi untuk sistem kepercayaan kelompok masyarakat yang dianggap sederhana. Salah satu penulisan mengenai sistem kepercayaan masyarakat sederhana ini adalah sunda wiwitan sebagai sistem religi masyarakat Kanekes. Kata Sunda Wiwitan berasal dari wiwitan, berarti asal, pokok, jati, yang dalam bahasa Sunda Kuno mengandung arti jati sunda. Menurut Saleh Danasasmita mungkin pada zaman Rakayan Darmasiksa ialah Raja Sunda pada abad ke – 13 Masehi, yang ungkin ada kaitannya dengan Kanekes, menjadikan Kanekes sebagai mandala secara resmi karena penduduknya telah menjaga kabuyutan ereka. Hal itu memperlihatkan pula bahwa mereka bukan pemeluk agaa hindu ataupun budha tetapi religi sunda sebelum kedua agama itu masuk. Agama Sunda Wiwitan mengajarkan bahwa kekuasaan tertinggi berada pada Nu Ngersakeun ( yang menghendaki ), Sang Hiyang Keresa ( yang maha kuasa ), atau Batara Tunggal ( yang maha esa ) atau Gusti Nu Maha Suci. Orientasi, konsep dan kegiatan keagamaan ditujukan kepada pikukuh ketentuan adat mutlak agar manusia hidup selaras. Masyarakat Kanekes dalam Agama Sunda Wiwitan memiliki tugas menyejahterakan dunia melalui perbuatan dan pikukuh. Bila wilayah Kanekes yang dianggap sebagai inti jagat atau pusat dunia selalu terpelihara dengan baik, maka seluruh kehidupan akan aman sejahtera. Mangenai tugas masyarakat Kanekes dalam Agama Sunda Wiwitan diungkapkan bahwa : Konsep keagamaan dan adat terpenting yang menjadi inti pikukuh masyarakat Kanekes adalah ” tanpa perubahan apapun ”, sebagaimana tertuang dalam buyut titipan para karuhun sebagai berikut : ( Buyut yang dititipkan kepada puun negara tiga puluh tiga, bangsawan enam puluh lima, pusat dunia dua puluh lima negara. Gunung tidak boleh dihancurkan, lebah tidak boleh dirusak, larangan tidak boleh dilanggar, buyut tidak boleh dirubah, panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung, yang bukan harus ditiadakan, yang lain harus dilainkan, yang benar harus dibenarkan ). Larangan adat dalam masyarakat Kanekes dikenal dengan istilah buyut, yang mengandung pengertian semacam tabu atau pantangan. Bagi masyarakat Kanekes buyut diartikan : ( Buyut itu diartikan sebagai pamali, sebenarnya dimana – mana juga ada aturannya. Kalau diluar ada yang disebut larangan, secara bahasa istilah ” jangan ”. Kalau dilaksanakan itu kan mungkar. Kalau menurut islam itu adalah pamali. Buyut itu diartikan kata bahasa adalah dosa ). Bagi masyarakat Kanekes, buyut sesungguhnya berati segala sesuatu yang melanggar pikukuh. Buyut ini terbagi atas buyut adam tunggal dan buyut nahun. Buyut adam tunggal berati larangan pokok yang berlaku untuk masyarakat Tangtu ( Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik ), sedangkan Buyut Nahun merupakan larangan berdasarkan hal yang pokok saja yang berlaku untuk orang Panamping. Contoh dari pelaksanaan kedua jenis buyut ini adalah larangan untuk bertani dengan bersawah, membalikan tanah ketika berladang berlaku untuk semua asrakat Kanekes baik itu masyarakat Tangtu maupun Panamping. Tetapi ada juga larangan yang berlaku untuk masyarakat Tangtu, tetapi tidak bagi masyarakat Panamping. Sebagai contoh adalah penggunaan paku untuk pembuatan rumah diperbolehkan untuk masyarakat Panamping, tapi tidak untuk masyarakat Tangtu. Dalam kepercayaan masyarakat Kanekes, tanah atau dunia ( Buana Panca Tengah ) dibedakan berdasarkan tingkatan kesuciannya, Sasaka Pusaka Buana dianggap sebagai tempat paling suci, tanah Tangtu, kemudian tanah Panamping dan tanah diluar Kanekes. Pusat pemujaan masyarakat Kanekes berada di Gunung Kendeng. Terletak 32 km sebelah selatan kampung Tangtu Cikeusik. Kehidupan beragama masyarakat Kanekes tampak pada upacara – upacara yang bersifat keagamaan. Upacara – upacara yang dimaksud diantaranya ialah Ngawalu, Ngalaksa dan Seba. Kawalu merupakan peristiwa besar akhir tahun masyarakat Kanekes. Pada masa Kawalu ini seluruh kawasan Kanekes, khususnya kampung Tangtu dinyatakan tertutup bagi tamu yang hendak berkunjung. Kawalu adalah upacara dalam rangka kembalinya padi dari ladang ke lumbung. Kawalu ini dilakukan sebanyak tiga kali, masing – masing sekali dala tiap – tiap bulan Kawalu, yakni kawalu teumbeuy atau kawalu mitembeuy setiap tanggal 17 bulan katiga. Upacara kawalu berlaku diseluruh tangtu. Kawalu juga merupakan ungkapan syukur atas keberhasilan panen padi kepada Dewi Padi ( Nyi Pohaci ). Kawalu diartikan oleh masyarakat Kanekes sebagai ungkapan rasa syukur kepada sang pencipta : ( Apabila segala hasil bumi yang didapat karena kita hanya menumpang kepada bumi selama di Buana Panca Tengah. Jadi kita harus punya perasaan bersyukur kepada yang memiliki bumi karena bisa diberikan kesejahteraan, tanah yang subur ada panas dan air, siapa yang punya? Yaitu bumi, kita harus meminta kepadanya, kita harus pamitan ketika mau menanam. Ini semua manusia bukan yang punya, ini semua punya Yang Maha Kuasa dan diciptakan olehnya. jadi kita harus pamitan dan bersyukur kepada yang maha kuasa ). Ngalaksa adalah upacara membuat laksa, semacam mie yang terbuat dari beras. Upacara Ngalaksa dilaksanakan pada tanggal 21 bulan katiga, diawali di kampung tangtu, kemudian keseluruh Kanekes. Menurut keyakinan masyarakat Kanekes, upacara ngalaksa merupakan perlambang ucapan terima kasih bahwa huma mereka dilindungi oleh karuhun dan tehindar dari berbagai malapetaka. Selain itu Ngalaksa erupakan upacara penutup tahun bagi kegiatan perladangan masyarakat Kanekes. Rangkaian proses upacara tersebut diakhiri dengan mengadakan seba, yakni kegiatan menghadap sambil menyerahkan persembahan kepada penguasa nagara. Pandangan, masyarakat Kanekes sendiri tampaknya menarik tentang bagaimana sebenarnya makna seba bagi mereka. Upacara Seba merupakan upacara persembahan kepada penguasa nagara. Persembahannya berupa laksa dan berbagai hasil bumi lainnya. Seba diartikan pula sebagai lambang hubungan baik antara mandala dan nagara. Diperkirakan pula kegiatan seba awal mulanya dilakukan kepada Raja Sunda. Setelah kerajaan sunda tidak ada, seba itu dipersembahkan kepada Sultan Banten, Bupati Serang, kemudian Residen Banten, dan Bupati Lebak sampai sekarang. Pelaksanaan seba dilakukan pada satu hari bulan kapat atau bulan pertama dalam kalender Kanekes. Upacara seba diikuti oleh warga tangtu dan panamping, seperti Jaro Dangka, Jaro Warega, Tanggungan Jaro Duawelas, Jaro Tangtu, beberapa orang baris kolot dan Jaro Pamarentah. Tanggungan Jaro Duawelas yang secara adat memimpin seba, dan Jaro Pamarentah yang sebagai pembantu penting karena berkedudukan sebagai Kepala Desa Kanekes. Sistem Pemerintahan Kanekes Pada dasarnya sistem kepemimpinan masyarakat Kanekes tidaklah berbeda atau tidak terlepas dari sistem kepercayaan mereka. Artinya bahwa pemimpin tertinggi terletak ditangan puun yang dianggap sebagai perantara umat manusia dengan Batara Tunggal. Puun menjalankan tugas kepemimpinannya dibantu oleh beberapa orang perantara yang menghubungkan Puun dengan masyarakat Kanekes secara keseluruhan . kelompok para pemimpin adat ini merupakan suatu kesatuan yang disebut Tangtu Tilu Jaro Tujuh yang terdiri dari sejumlah pemimpin dari kampung tangtu dan tujuh orang Jaro Dangka dari kampung Dangka termasuk Tanggungan Jaru Duawelas. Sistem kepemimpinan dalam masyarakat Kanekes jika dilihat dari peran dan fungsinya, dibedakan menjadi dua bagian yaitu : 1. Kelompok pemimpin yang peranannya berhubungan dengan berbagai hal yang berkaitan dengan adat, mereka ialah Puun sebagai pemimpin tertinggi, Girang Seurat, Jaro Tangtu, Tangkesan, Baresan Salapan, Tanggungan Jaro Duawelas, Jaro Dangka, dan Dangka ( kokolot ). Kesemuanya membentuk sebuah sistem pemerintahan adat Kanekes. 2. Pemimpin yang dalam tugas dan kewenangannya berkaitan erat dengan hal – hal pemerintah formal, yang terdiri dari : Jaro Pamarentah, Panggiwa, Carik dan Kolot desa. Adapun kepemimpinan Tangtu Tilu Jaro Tujuh tersebut diuraikan sebagai berikut : Puun, secara pikukuh berlangsung secara turun temurun, dari seorang bapak ke anak dan seterusnya. Apabila seorang puun yang sedang menjabat tidak memiliki seorang anak laki – laki sebagai penerusnya, atau tidak memungkinkan karena calon puun masih kecil misalnya, kerabat dekat boleh menduduki jabatan puun. Masa untuk menjadi puun tidak ditentukan, tergantung oleh apakah masih mampu, usia tua, atau disebabkan oleh hal lain yang melanggar pikukuh maka puun akan berhenti. Seorang calon puun ditunjuk dan diangkat oleh puun Jeneng. Puun Jeneng adalah orang yang masih memegang jabatan sebagai puun, cara pemilihan seorang yang bakal menjadi seorang puun adalah berdasarkan mimpi seorang puun Jeneng. Setelah terpilih orang yang akan menjadi calon puun, lalu ia diberikan semacam pendidikan kepemimpinan secara lisan tentang cara, isi mantera – mantera yang harus dikuasai oleh seorang puun dalam menjalankan tugasnya nanti. Proses pendidikan ini dilakukan, baik oleh puun jeneng, puun pareman ( seorang yang pernah menjabat puun ), maupun oleh jaro tangtu dan girang seurat secara bersama, dalam arti mereka semuanya itu bertanggung jawab terhadap berlangsungnya proses pendidikan tersebut. Peletakan jabatan seorang puun untuk diserahkan kepada penggantinya biasanya datang dari puun yang bersangkutan bila ia merasa telah terlalu tua atau tidak sanggup lagi memegang jabatan puun. Puun bagi masyarakat Kanekes diartikan sebagai keturunan langsung Batara Tunggal, yang karena itu mereka menjadi pemimpin adat yang mengawasi dan melaksanakan pikukuh. Karena itu pula mereka adalah pemimpin adat, orang yang dihormati oleh wibawa dan kuasanya. Tugas – tugas yang diemban oleh puun diartikan pula tugas atau beban semua masyarakat Kanekes. Adpun tugas – tugas puun itu dekemukakan dengan singkat oleh kalimat berikut : ( Tugas puun di Kanekes, puun harus membakar wangi – wangian / kemenyan, menjaga dan membersihkan, memuja, memelihara sasaka menjaga buana ) Tugas puun meliputi Ngareksakeun Sasaka Pusaka Buana dan Sasaka Domas, yang berati puun memiliki tanggung jawab untuk mengurus, memelihara dan melindungi pangkal pusaka dunia yang dianggap suci oleh masyarakat Kanekes tersebut. Letak tempat suci ini terletak di pegunungan Kendeng dan terlarang bagi siapapun untuk pergi ketempat ini tanpa seizin puun. Jaro Tangtu : ditunjuk dan diangkat langsung oleh puun yang masih menjabat. Tugas utama Jaro Tangtu ialah menyelesaikan permasalahan yang terjadi di daerah Tangtu Cibeo, Cikeusik, dan Cikertawana, khususnya dimana Jaro Tangtu itu berada dan tinggal, terutama yang menyangkut hal pelaksanaan dan pengawasan adat Kanekes. Selain itu Jaro Tangtu juga yang harusmenerima tamu dari luar daerah Tangtu dan luar Kanekes yang hendak bertemu dengan puun. Girang Seurat : penunjukan dan pengangkatannya sama halnya dengan Jaro Tangtu dan merupakan jabatan kedua setelah puun. Girang Seurat merupakan jabatan yang berfungsi sebagai sekretaris puun dalam hal pelaksanaan aturan adat, sekaligus sebagai jabatan penghubung dan pembantu utama puun apabila setiap orang yang ingin menghadap dan bertemu dengan puun. Sebagai jabatan pemangku adat, jabatan Girang Seurat hanya terdapat di Tangtu Cikeusik dan Tangtu Cibeo, di Tangtu Cikertawana tidak terdapat jabatan Girang Seurat, pelaksanaan tugas sebagai pembantu utama puun di Tangtu Cikertawana dilaksanakan oleh Kokolot kampung ( Tetua Kampung ). Tangkesan : penunjukan dan pengangkatan jabatan ini sama halnya dengan Jaro Tangtu melalui proses pemilihan yang dilakukan oleh ketiga Puun yang ada di Tangtu Cikeusik, Tangtu Cibeo dan Tangtu Cikertawana. Orang yang dapat menjabat sebagai Tangkesan, hanya orang – orang yang bertepat tinggal di kampung – kampung Kaduketer, Cicatang dan Cikopeng yang termasuk kedalam kampung – kampung Panamping. Tugas utama Tangkesan ialah menjaga keseimbangan adat masyarakat Panamping agar tetap patuh kepada aturan – aturan adat. Selain itu Tangkesan juga berfungsi sebagai ” dukun ” penjaga keselamatan, berkaitan dengan upacara yang berhubungan dengan siklus kehidupan warga masyarakatnya. Baresan : para tetua kampung yang bertugas sebagai keamanan kampung dan bertanggung jawab dalam hal keamanan dan ketertiban. Baresan ini memiliki jumlah keanggotaan sebanyak sebelas orang di Tangtu Cikeusik, sembilan orang di Tangtu Cibeo, dan lima orang di Tangtu Cikertawana. Karena tugasnya berkaitan dengan penyelesaian segala hal yang berkaitan dengan masalah pelanggaran hukum adat, mereka diharuskan selalu berada di dalam desa Kanekes, karena kalau terjadi masalah pelanggaran adat dapat diselesaikan dengan cepat. Tanggungan Jaro Duawelas : penunjukan dan pengangkatannya dilakukan oleh Tangkesan atas dasar mimpi. Untuk memegang jabatan ini diserahkan kepada siapa saja yang memang terpilih dan terpercaya. Tugas utama dari Tanggungan Jaro Duawelas adalah semacam penengah antara Puun dengan Jaro – jaro Dangka. Pada saat pertemuan Tangtu Tilu Jaro Tujuh”, Tanggungan Jaro Duawelas harus hadir meskipun ada Jaro Dangka yang tidak hadir. Dengan kehadiran Tanggungan Jaro Duawelas berarti kehadiran seluruh Jaro Dangka boleh dikatakan telah terwakili. Jaro Dangka adalah orang yang bertugas untuk menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang berada diluar desa Kanekes. Jadi Tanggungan Jaro Duawelas adalah orang yang bertugas mengkoordinir semua jaro yang mengawasi pelaksanaan adat. Untuk wilayah diluar Kanekes sendiri terdapat tujuh orang, dan dua orang berada di dalam desa masing – masing berkadudukan di Cibengkung, Cihandam, Garehong, Kamancing, Kompol, Kaduketug, dan Cihulu, ditambah dengan orang Jaro Tangtu yang berada di Cikeusik, Cibeo dan Cikertawana. Di luar struktur pemerintahan adat seperti dikemukakan diatas, masih ada lembaga pemerintahan yang merupakan bagian dari struktur pemerintahan di luar Kanekes, tetapi keberadaannya itu sendiri diakui oleh masyarakat Kanekes. Struktur kelembagaan pemerintahan ini dimulai sejak pertengahan abad ke – 19 atau sekitar tahun 1850. dalam hal ini pemerintah kolonial Hindia Belanda memandang wilayah Kanekes sebagai sebuah desa. Oleh karena itu, diangkatlah seorang Kepala Desa Kanekes yang disebut Jaro Gubernemen ( Jaro Pemerintah ). Wilayah kewenangan tugas seorang Jaro Pemerintah meliputi seluruh wilayah Kanekes. Pada satu pihak ia bertanggung jawab kepada struktur hirarki kelembagaan administrasi negara seperti kepada camat, pada pihak lain ia juga bertanggung jawab pula kepada Puun. Untuk mengisi jabatan Jaro Pemerintah, terlebih dahulu orang yang akan menjabat harus direstui oleh Puun. Sesudah itu, calon tersebut diajukan oleh Camat Leuwidamar kepada Bupati Lebak Banten untuk diproses pengangkatannya. Jaro pemerintah dalam melaksanakan tugasnya, dibantu oleh seorang Panggiwa sebagai wakil Jaro dan seorang carik ( juru tulis atau sekretaris ). Seorang yang manjabat carik selalu dipegang oleh orang luar Kanekes, karena hal ini berkaitan dengan aturan adat yang melarang masyarakatnya membaca dan menulis. Sehingga untuk kebutuhan administrasi desa, seperti surat menyurat, pelaporan sensus dan hal lainnya dibutuhkan orang yang bisa baca tulia. Carik yang sekarang ini di desa Kanekes adalah Carik Ukang dan Carik Sapin keduanya berasal dari Desa Leuwidamar. Aktifitas Sosial Perekonomian Lingkaran kehidupan sosial masyarakat Kanekes pada intinya terpusat pada aktivitas berladang. Ngahuma berladang merupakan tunpuan utama seluruh kehidupan masyarakatnya. Apabila ada aktivitas – aktivitas lainnya, terutama yang dilakukan oleh orang – orang Kanekes khususnya orang Panamping, akan mengambil tempat dan waktu yang tertentu dalam lingkungan aktivitas berladang. Dengan demikian ada kecenderungan bahwa lingkungan kehidupan sosial orang Panamping lebih beragam dan banyak jika dibandingkan orang Tangtu. Lingkaran kehidupan sosial itu berlangsung dalam konteks ruang dan waktu yang diberi makna dan disesuaikan dengan proses berjalannya aktivitaskehidupan dalam bentuk kalender kehidupan masyarakat Kanekes. Gerak aktivitas seluruh kehidupan masyarakat Kanekes, yang tercermin dalam susunan kalender bulanan masyarakat Kanekes terisi oleh peraturan aktivitas berladang. Perjalanan seseorang dalam lingkaran kehidupan melalui lingkaran waktu yang disertai oleh berbagai upacara : lahir-pereuhan-ngangiran-cukuran-sunatan ( nyeulamkeun ) –kawinan-ngamandian ( mati ) – nguburkeun. ( lahir – menetes mata – mencuci rambut – mencukur rambut – khitanan – kawin – memandikan mayat – menguburkan mayat ). Upacara itu berlaku bagi semua masyarakat Kanekes. Selain kegiatan yang bertumpu pada mata pencarian pokok atau utama, kegiatan ekonomi masyarakat Kanekes juga meliputi keperluan pemenuhan kebutuhan hidup mereka di luar dari hasil kegiatan di ladang. Ladang – ladang orang Tangtu terletak di wilayah Tangtu Cikeusik, Cibeo dan Cikertawana. Sedangkan ladang orang Panamping selain di Desa Kanekes ( di luar tanah Tangtu ) juga tersebar diberbagai wilayah desa – desa tetangga dekat dengan wilayah Kanekes. Seperti tampak dalam lingkaran aktivitas masyarakat Kanekes, upacara menempati tempat yang penting dalam lingkaran kehidupan mereka, perubahan terhadap alam yang dilakukan melalui aktivitas berladang harus dilakukan secara seimbang, sehingga perubahan apapun yang terjadi tidak mengganggu keseimbangan lingkungan alam. Oleh karena itu tanah yang dipergunakan untuk keperluan ladang tidak boleh diubah, atau dibalikkan dengan cangkul. Untuk menanam padi cukup menggunakan aseuk ( tugal ) kayu. Sebagaimana penggarapan ladang pada umumnya, penggarapan huma di Kanekes pun mengalami proses berpindah – pindah lokasi garapan, karena lahan huma tidak dapat digarap terus menerus, mengingat kesuburan tanahnya makin lama makin berkurang. Lahan huma yang ditinggalkan itu dinamai jami, bila waktunya masih belum lama, sedangkan huma yang sudah menjadi semak belukar dinamai reuma. Kegiatan berhuma memilik beberapa tahapan yang berkaitan dengan tata urutan kegiatan perladangan mereka, awal penyiapan lahan ladang, yang dikenal dengan kegiatan narawas. Kegiatan narawas berupa mencari atau memilih lahan untuk dijadikan huma oleh kepala keluarga. Lahan yang biasa dijadikan ladang baru berupa reuma, yang telah mengalami peralihan alami dari bekas huma. Setelah mendapatkan lahan yang akan dijadikan huma, kegiatan dilanjutkan dengan nyacar. Kegiatan ini berupa membabat rumput dan memangkas dahan – dahan kecil serta menumpukkannya agar lahan yang akan menjadi bakal huma memperoleh banyak sinar matahari. Kegiatan ini dilakukan oleh anggota keluarga dewasa ( pria dan wanita ), yakni dengan menebang pohon – pohon kecil, alang – alang dan tanaman perdu lainnya yang tumbuh diareal tanah yang akan dijadikan huma. Hasil tebangan tersebut kemudian dibiarkan mengering. Kegiatan setelah nyacar adalah nukuh. Nukuh adalah kegiatan mengeringkan rerumputan, semak belukar, dahan – dahan kecil yang telah ditebang dan dipangkas sebelumnya dengan cara dijemur pada sinar matahari. Setelah kering dibakarlah bekas – bekas tanaman yang ditebang tersebut, kegiatan ini dinamakan ngaduruk, yang berati membakar sisa – sisa tanaman yang selesai ditebang dan dibersihkan. Abu yang tersisa dari pembakaran dibiarkan tertinggal pada lapisan atas tanah sebagai pupuk alami sambil menunggu hujan tiba. Kegiatan Ngaseuk pun dimulai. Kegiatan membuat lubang kecil pada tanah dengan menggunakan aseukan ( penugal ) untuk menanam benih padi. Kegiatan Ngaseuk dilakukan bersama – sama oleh pria dan wanita dalam satu keluarga. Kegiatan menanam atau memasukkan benih padi ke dalam tanah yang sudah di aseuk dinamakan kegiatan muuhan. Ngaseuk dilakukan oleh pria dewasa, sedang muuhan dilakukan oleh wanitanya. Kegiatan membersihkan sampah berupa daun kering dan ranting yang tertinggal di lahan huma dan terletak diantara rumpun – rumpun padi yang sedang tumbuh dibersihkan oleh tangan dan dibuang. Kegiatan ini disebut ngirab sawan, yang dilanjutkan dengan kegiatan ngored, kegiatan yang membersihkan tanaman padi dari tumbuhan rumput – rumput yang mengganggu pertumbuhan tanaman padi. Alat yang dipakai dalam kegiatan ngored ini adalah sejenis cangkul dalam ukuran kecil. Sesudah butir padi yang keluar dari tanaman padi berwarna kuning sebagai pertanda bahwa tanaman padi sudah mulai tua dan masak, dilakukanlah penuaian padi dengan manggunakan etem, sejenis alat untuk memetik padi yang sudah matang. Kegiatan menuai tangkai padi ini disebut dengan istilah dibuat, dan masa kegiatan ini disebut masa panen. Padi hasil panen dijemur sampai kering, selanjutnya padi diikat secara permanen dengan ukuran besar ikatan tertentu. Setelah semua proses pengerjaan memanen selesai, kemudian padi hasil panen tersebut dibawa ke kampung masing – masing untuk disimpan di Leuit ( lumbung ). Leuit ini berupa bangunan khusus yang dibuat untuk menyimpan padi yang terletak tidak jauh dari kompleks perkampungan. Dengan tersimpannya padi hasil panen di Leuit, maka berakhirlah satu proses pertanian pada masyarakat Kanekes. Selam dalam proses pertanian dan penggarapan huma, pengerjaan yang dilakukan oleh masyarakat Kanekes tidak hanya mengerjakan dan memelihara huma dalam lingkup kegiatan dan aktivitas fisik saja, mereka juga melakukan pengerjaan secara batiniah berdasarkan kepercayaan mereka dalam bentuk mantera, upacara serta mencegah larangan, dan mengerjakan aturan – aturan yang sudah digariskan oleh karuhun yang menjadi aturan selama proses penggarapan kegiatan berhuma. Tradisi berhuma dalam masyarakat Kanekes mengenal lima macam huma berdasarkan fungsinya, yakni huma serang, huma puun, huma tangtu, huma tuladan, dan huma panamping. Huma serang merupakan huma adat milik bersama. Penggarapan huma ini dikerjakan secara bersama – sama oleh masyarakat Kanekes baik Tangtu ataupun Panamping, dipimpin oleh pimpinan adat atau Puun. Huma serang dikerjakan paling awal mendahului pengerjaan ladang lainnya. Huma serang hanya ada di Tangtu yaitu Cikeusik, Cibeo, dan Cikertawana. Huma Puun merupakan ladang milik Puun, pengerjaannya juga banyak melibatkan masyarakat. Seperti huma serang, huma Puun pun hanya terdapat di Cikeusik, Cibeo, dan Cikertawana. Adapun huma Tangtu disediakan untuk keperluan bercocok tanam masyarakat Tangtu. Huma tuladan untuk keperluan upacara ( seperti huma serang ) di daerah Panamping, dan huma Panamping untuk keperluan penduduk Panamping. Lingkaran kehidupan sosial masyarakat Kanekes walaupun pada hakikatnya terpusat pada aktivitas mata pencaharian berladang. Tetapi sekarang ini ada kecenderungan bahwa lingkungan kehidupan sosial masyarakat Kanekes lebih beragam. Walaupun masih ada beberapa hal yang masih menjadi pegangan masyarakat Kanekes dalam aktivitas ekonomi inti mereka yakni berhuma. Menggarap tanah untuk menanam padi pada masyarakat Kanekes dengan sistem bersawah merupakan suatu hal yang tabu bagi mereka, karena masyarakat Kanekes tidak diperbolehkan untuk membelokkan aliran air. Tetapi alasan logis yang bisa dikemukakan mengenai aturan adat ini sesuai dengan kondisi alam dimana masyarakat Kanekes tinggal. Kondisi alamnya yang berbukit – bukit dan bergunung – gunung, sehingga tidak memungkinkan untuk pembuatan saluran air untuk persawahan. Hal ini terlihat apabila kita mengunjungi wilayah Kanekes, ladang – ladang padi terhampar di bukit – bukit yang memiliki sudut kemiringan tajam. Disamping kegiatan berladang dengan menanam padi, masyarakat Kanekes memiliki sumber penghidupan yang lain berupa penyadapan pohon enau untuk dijadikan gula merah, mencari madu di hutan untuk di jual kepada pengunjung yang datang dan menanam buah – buahan yang bisa untuk dijual seperti durian, petai. Sumber penghidupan masyarakat Kanekes tidak terbatas pada aktivitas yang dilakukan oleh kaum laki – lakinya saja, kaum wanitanya sebagian berusaha untuk menambah penghasilan dengan membuat kerajinan kain tenun sendiri. Hasil tenunannya berupa kain, selendang, dan bahan pakaian. Selain untuk dipergunakan sendiri, hasil kerajinan tenun ini menjadi komoditas menguntungkan untuk dijual kepada pengunjung yang datang ke Kanekes. Pada masyarakat Kanekes, tanah bukanlah berstatus tanah milik pribadi. Tanah termasuk hutan didalamnya dianggap sebagai tanah titipan dari yang maha kuasa. Mereka hanya bertugas untuk menjaga, memelihara dan memanfaatkannya sebatas untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar